Alat
Musik Gamelan
Secara
etimologis, gamelan berasal dari bahasa Jawa, yaitu gamel yang
berarti memukul atau memainkan. Gamelan Sunda berkembang di pulau Jawa,
khususnya di Jawa Barat. Gamelan merupakan salah satu ensambel musik tradisonal
yang paling populer dan dikagumi oleh warga Internasional. Gamelan sering
digunakan sebagai musik pengiring pada kesenian tradisional wayang,
upacara adat, dan berbagai ritual. Satu perangkat gamelan paling tidak terdiri
dari saron, gambang, panerus, suling degung, rebab, kecapi, bonang,
kulanter,kendang, jengglong, dan goong.
Dari
segi irama, gamelan Sunda dapat dibedakan dengan gamelan Bali dan gamelan Jawa.
Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih merdu dengan tempo lambat, berbanding terbaik
dengan gamelan Bali yang cenderung rancak. Gamelan Sunda didominasi oleh suara
suling atau rebab, sehingga lebih berkesan mendayu-dayu.
Tidak
ada yang menyebutkan kapan tepatnya gamelan masuk ke tanah Sunda, tetapi
tanda-tanda adanya kesenian ini di tatar Sunda dijelaskan dalam naskah Sang
Hyang Siksa Kanda Ng Karesian, bahwa kesenian ini mulai masuk pada abad 16.
Dalam naskah tersebut, dijelaskan bahwa pada waktu itu pemain gamelan disebut
Kumbang Gending, dan ahli karawitan disebut Paraguna. Naskah Sewaka Darma
menyebutkan bahwa gamelan sunda disebut juga Gangsa.
Mulanya,
gamelan sunda hanya terdiri atas bonang, saron panjang, jenglong, dan goong.
Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan kebutuhan musikal,
misalnya penambahan kendang, suling, dan rebab.
Bupati
Cianjur, RT Wiranatakusumah V (1912—1920) sempat melarang permainan gamelan
yang disertai dengan nyanyian, karena membuat suasana menjadi kurang khidmat.
Setelah diangkat menjadi bupati Bandung pada tahun 1920, beliau memboyong
gamelan dari pendopo Cianjur ke pendopo Bandung, berikut para nayaga.
Gamelan bernama Pamagersari ini memukau saudagar Pasar Baru Bandung keturunan
Palembang, bernama Anang Thayib. Ia tertarik menggunakannya dalam acara
hajatan dan memohon ijin pada Bupati sekaligus sahabatnya itu. Sejak itu,
degung digunakan untuk perhelatan umum.
Terdapat
tiga jenis gamelan yang berkembang di tanah Sunda, antara lain gamelan renteng,
gamelan salendro atau pelog, dan gamelan ketuk tilu. Gamelan salendro biasanya
digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari-tarian, kliningan, dll.
Sehingga gamelan salendro menjadi gamelan yang poluler diantara jenis gamelan
yang lain.
Gamelan
Renteng berkembang di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong.
melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan
besar gamelan sunda yang sekarang berkembang bermula dari gamelan renteng.
Adapun Gamelan Ketuk Tilu biasanya dipakai untuk mengiringi kesenian ketuk
tilu, ronggeng gunung, ronggeng ketuk, doger, dan topeng banjet.
Arumba adalah
nama grup musik yang menggunakan alat musik yang terbuat dari bambu.
musik ini biasa dimainkan oleh sekelompok anak-anak muda yang sedang bertugas
ronda malam. alat musik ini berasal dari Desa Margoyoso Kec.Salaman
Kab.Magelang yang dikembangkan ke desa-desa sekitarnya,seperti Desa
Jamblang-Kaliabu yang saat ini sedang gigih-gigihnya mendalami jenis musik
tersebut.adapun jumlah pemainnya kurang-lebih 10 orang.selain untuk kegiatan
ronda malam,musik ini biasa dimainkan pada acara hajatan seperti pernikahan,sunatan,ulang
tahun,dll.
Susunan ensemble gambang yang umum saat ini adalah:
Susunan ensemble gambang yang umum saat ini adalah:
Angklung
solo: adalah satu set angklung (biasanya 31 buah) yang tergantung pada
palang. Angklung ini dimainkan oleh satu orang saja, sehingga pada satu saat,
hanya dua angklung yang bisa digetarkan.
Gambang
Melodi: adalah gambang yang membunyikan melodi lagu (saling mengisi suara
dengan angklung), dimainkan oleh satu orang dengan dua pemukul.
Gambang
pengiring: adalah gambang yang bertugas menghasilkan suara akord. Gambang
ini dimainkan oleh seorang pemain dengan 4 pemukul.
Bass
lodong: terdiri atas beberapa tabung bambu besar yang dipukul untuk
memberi nuansa nada rendah.
Gendang : adalah
alat musik pukul yang digunakan sebagai pembawa irama.
Dengan berkembangnya
inovasi baru, saat ini angklung solo mulai digantikan dengan angklung toel.
Sejarah Arumba :
Konon pada tahun 1964, Yoes Roesadi dan kawan-kawan membentuk grup musik yang secara khusus menambahkan angklung pada jajaran ensemble-nya. Ketika sedang naik truk untuk pentas ke Jakarta, mereka mendapat ide untuk menamai diri sebagai grup Aruba (Alunan Rumpun Bambu).
Kemudian sekitar tahun 1968, Muhamad Burhan di Cirebon membentuk grup musik yang bertekad untuk sepenuhnya memainkan alat musik bambu. Mereka memakai alat musik lama (angklung, calung), dan juga berinovasi membuat alat musik baru (gambang, bass lodong). Ensemble ini kemudian mereka beri nama Arumba (Alunan Rumpun Bambu).
Sekitar tahun 1969, Grup Musik Aruba juga mengubah nama menjadi Arumba, sehingga timbul sedikit perselisihan istilah arumba tersebut. Dengan berjalannya waktu, istilah arumba akhirnya melekat sebagai ensemble musik bambu asal Jawa Barat
Konon pada tahun 1964, Yoes Roesadi dan kawan-kawan membentuk grup musik yang secara khusus menambahkan angklung pada jajaran ensemble-nya. Ketika sedang naik truk untuk pentas ke Jakarta, mereka mendapat ide untuk menamai diri sebagai grup Aruba (Alunan Rumpun Bambu).
Kemudian sekitar tahun 1968, Muhamad Burhan di Cirebon membentuk grup musik yang bertekad untuk sepenuhnya memainkan alat musik bambu. Mereka memakai alat musik lama (angklung, calung), dan juga berinovasi membuat alat musik baru (gambang, bass lodong). Ensemble ini kemudian mereka beri nama Arumba (Alunan Rumpun Bambu).
Sekitar tahun 1969, Grup Musik Aruba juga mengubah nama menjadi Arumba, sehingga timbul sedikit perselisihan istilah arumba tersebut. Dengan berjalannya waktu, istilah arumba akhirnya melekat sebagai ensemble musik bambu asal Jawa Barat
Alat
Musik baba
Margondang
baba adalah memainkan alat musik gondang/taganing dengan menggunakan
mulut/suara. Pada kehidupan tradisi masyarakat Batak Toba, jenis musik ini
dikenal pada zaman pra-kekristenan di tanah batak. Saat ini margondang baba
dimainkan untuk hiburan seiring berkembangnya zaman dan makin bertambah
banyaknya produksi alat-alat musik Batak Toba. Margondang baba yang dilanjutkan
dengan memainkan gondang siburuk, menceritakan:
Pada zaman dahulu kala
hiduplah sebuah keluarga yang mempunyai anak satu-satunya. Suatu hari anak
tersebut jatuh dari atas pohon kelapa dan terbentur ke batu, si ayah pun susah
dan sedih sebab tulang anaknya sudah remuk dan patah, demikian juga uratnya.
Padahal dia adalah anak satu-satunya.
Pada suatu malam, si
ayah tersebut pun menyediakan sesajen dan berdoa menyatukan darah putih Tuhan
dengan darahnya sambil memanggil roh-roh Tuhan yang ada pada badannya, kemudian
ia bermimpi seorang orang tua menghampirinya dan berkata dalam mimpi di
belakang rumahmu ada sarang burung "siburuk" yang baru menetas,
ikatlah anaknya dengan benang tiga warna (warna merah, putih dan hitam),
setelah kamu ikat patahkanlah kakinya, tangannya,lehernya, dan semua badannya
kau remukkan tetapi jangan mati.
Setelah itu tunggulah
selama sembilan hari dan kau lihatlah kembali anak burung tersebut akan sembuh.
Setelah itu ambillah anaknya beserta sarangnya, masaklah dengan minyak kelapa
dan gunakanlah itu untuk mengobati anakmu, maka dia pun akan sembuh.
Cerita legenda ini
dipresentasikan lewat gondang dan tarian tor-tor siburuk. Siburuk ini
adalah nama dari salah satu jenis burung yang ada di daerah Batak Toba.
Permainan gondang ini
dilakukan secara bergantian dan digarap menjadi sebuah bentuk permainan gondang
yang lebih semanagat dan penuh improvisasi tanpa menghilangkan unsur dasar
tradisi di dalamnya.
Seni
Rampak Bedug
Seni
Rampak Bedug adalah kesenian khas Pandeglang yang menjadi kebanggaan
masyarakat Kabupaten Pandeglang, bahkan Provinsi Banten. Dalam berbagai
kegiatan seremonial kenegaraan atau pun swasta, baik lokal, nasional, bahkan
internasional, Seni Rampak Bedug kerap ditampilkan sebagai sajian kesenian
daerah Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten. Seni Tradisional Rampak Bedug
berasal dari tradisi masyarakat Pandeglang dan sekitarnya, yaitu tradisi Ngadu
Bedung. Kegiatan ini biasanya dilakukan masyarakat dalam meramaikan malam
menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Tradisi
ini dilakukan oleh dua atau lebih kampung yang bersebelahan atau dilakukan
ketika mendengar suara tabuhan bedug lawan. Ngadu bedug diawali dengan adanya
perjanjian masin-masing perwakilan warga. Kegiatan dimulai ketika salah satu
kapung melakukan tabuhan menantang, yang kemudian disahut oleh tabuhan lain
dari pihak lawan. Demikianlah terus menerus, saling bersahutan tabuhan sesuai
kreasi masing-masing. Selanjutnya mereka bergerak mendekat ke arahh sumber
suara lawan, yang akhirnya bertemu di arena lapang atau perempatan perbatasan
kampung. Ketika berpapasan, biasanya terjadi saling mengejek tabuhan atau
peralatan bedug lawan yang mengakibatkan terjadinya kontak fisik, sehingga
sering berakhir dengan perkelahian.
Lama
kelamaan, Ngadu Bedug bukan saja beradu kreasi menabuh Bedug, tetapi kemudian
berubah menjadi ajang perkelahian Ngadu Bedog (beradu Golok) yang kerap memakan
korban.
Alat Musik Calung
Calung merupakan
alat musik tradisional Jawa Barat yang terdiri dari deretan tabung bambu yang
disusun berurutan dengan tangga nada pentatonik dan dimainkan dengan cara
memukul bagian bilah atau tabungnya.Bambu yang dipakai untuk membuat alat musik
calung berasal dari jenis awi temen(Gigantochloa Atter (Hassk.)
Kurz) atau awi wulung(Gigantochloa Atroviolacea Widjaja).
Secara
etimologi, kata calung berasal dari “caca cici sing kurulung” yang
berarti suara bilah bambu yang dipukul.
Ada
dua jenis calung yang terdapat di Jawa Barat, yakni Calung Rantay dan Calung
Jinjing.
- - Calung Rantay
Calung
rantay disebut juga calung renteng, calung gambang atau calung runtuy. Beberapa
ahli mengklasifikasikan bahwa calung rantay dan calung gambang berbeda jenis,
sebab di beberapa daerah calung gambang memiliki dudukan yang paten, kurang
lebih berbentuk seperti xylophon atau kolintang di Minahasa.
Untuk
memainkan calug rantay biasanya dipukul menggunakan dua buah alat pemukul
sambil duduk bersila. Calung rantay terdiri dari bilah bambu yang diikat dan
disusun berderet dengan urutan bambu yang terkecil sampai yang paling
besar,selanjutnya tali pengikatnya direntangkan pada dua batang bambu yang
melengkung.Jumlahnya tujuh bilah atau lebih.
Komposisinya
ada yang berbentuk satu deretan dan ada juga yang berbentung dua deretan, yang
besar disebut calung indung (calung induk) dan yang kecil
disebut calung rincik(calung anak).
Di
beberapa daerah seperti di Tasikmalaya, Cibalong, dan Kanekes, calung rantay
memiliki ancakkhusus dari bambu atau kayu.
- - Calung Jinjing
Calung
jinjing berbentuk tabung-tabung bambu yang digabungkan
oleh paniir (sebilah bambu kecil). Berbeda dengan calung rantay,
calung jinjing dimainkan dengan cara dipukul sembari dijinjing. Calung jinjing
berasal dari bentuk dasar calung rantay dibagimenjadi empat bagian
bentuk wadrita(alat) yang terpisah, yakni calung kingking, calung
panepas, calung jongrong, dan calung gonggong. keempat buah alatini
dimainkan oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda.
Calung
Kingking memiliki 15 bilah bambu dengan urutan nada tertinggi,
Calung
Panepas memiliki lima bilah bambu yang dimulai dari nada terendah calung
kingking,
Calung
Jongrong sama dengan calung panepas, hanya saja urutan nadanya dimulai dari
nada terendah calung panepas,
Calung
Gonggong hanya memiliki dua bilah bambu dengan nada terendah.
Zaman
dahulu, para pemuda umumnya memainkan calung disela pekerjaannya mengusir
burung dan hama lainnya di sawah. Sedangkan di Desa Parung, Tasikmalaya
terdapat upacara yang disebut calung tarawangsa. Pada upacara ini calung
dikolaborasikan dengan alat musik tarawangsa sebagai ritual penghormatan kepada
Dewi Sri. Calung yang biasa dipakai untuk upacara ini yaitu calung rantay.
Lagu-lagu yang dibawakan pada saat upacara ini berlangsung berisi puji-puijan
kepada Dewi Sri.
Pada
perkembangannya, fungsi calung bergeser menjadi pengiring sebuah seni
pertunjukan yang bernama calungan. Perpaduan dalam mengkomposisikan
tabuhan gending, lagu, guyonan (lawakan) menjadi sebuah garapan musik rakyat
yang sangat digemari di seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Jawa Barat.
Calung yang hidup dan dikenal masyarakat sekarang adalah calung dalam bentuk
penyajian seni pertunjukan, dengan mempergunakan waditra yang disebut calung
jingjing.
Alat Musik Angklung
Angklung adalah
alat musik bambu yang dimainkan dengan cara digetarkan. Suara yang dihasilkan
adalah efek dari benturan tabung-tabung bambu yang menyusun instrumen tersebut.
Instrumen ini digolongkan ke dalam jenis idiofon atau alat music yang sumber
bunyinya berasal dari bahan dasarnya. Angklung umumnya dikenal berasal dari
daerah Jawa Barat. Sejak November 2010, UNESCO menetapkannya sebagai salah satu
warisan kebudayaan dunia, dengan kategori Masterpiece of Oral and Intangible Heritage
of Humanity.
Etimologi
Kata angklung konon berasal dari Bahasa Sunda (angkleung-angkleungan), yang menggambarkan gerak tubuh para pemain Angklung yang berayun-ayun seiring irama yang dibunyikan. Namun, ada juga yang meyakini kata angklungberasal dari klung, tiruan bunyi instrumen bambu tersebut. Sementara satu teori lainnya menyebutkan, kata “angklung” berasal dari Bahasa Bali, yakni angka dan lung. Angka berarti nada, sedangkan lung berarti patah , atau dengan kata lain, angklung bermakna nada yang tidak lengkap.
SejarahAngklung
Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di tanah Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di tanah Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Di era Hindu, pada era Kerajaan Sunda, Angklung menjadi instrumen penting dalam berbagai perayaan, terutama yang berkenaan dengan ritus bercocok-tanam, khususnya padi. Di lingkungan Kerajaan Sunda, tercatat sejak abad ke-7, Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan), agar Dia melimpahkan berkahnya atas tanaman dan kehidupan masyarakat. Tidak hanya sebagai media penyembahan terhadap dewa-dewi, pada zaman Kerajaan Sunda, Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, termasuk dalam Perang Bubat, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.
Hari ini, Angklung Gubrag merupakan instrument Angklung tertua yang masih terawat. Angklung tersebut dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Angklung kuno lainnya yang juga masih bisa dilacak keberadaannya terdapat di Museum Sri Baduga, Bandung. Sementara itu, tradisi Angklung yang paling lawas bisa didapati di lingkungan masyarakat Kanekes (Baduy), tepatnya di daerah Lebak, Banten. Hingga hari ini, mereka masih memfungsikan angklung sebagai mana yang diwariskan para leluhurnya, yakni mengiringi ritus bercocok-tanam.
Pada 1938, Daeng Soetigna, warga Bandung, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada trradisional pelog atau salendro. Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra. Sejak saat itu, Angklung semakin menuai popularitas, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada 18 November 2012, mengakuinya sebagai sebuah warisan dunia yang harus dilestarikan. Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung
Jenis-jenis Angklung
- - Angklung Kanekes
Angklung
Kanekes adalah Angklung yang dimainkan oleh masyarakat Kanekes (Baduy), di
daerah Banten. Sebagaimana disinggung sebelumnya, tradisi Angklung yang ada
pada masyarakat Kanekes ini terbilang kuno, dan tetap dilestarikan sebagaimana
fungsi yang dicontohkan leluhur mereka, yakni mengiringi ritus bercocok-tanam
(padi). Pada masyarakat Kanekes, yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni
kelompok Baduy Luar (Kajeroan) dan kelompok Baduy (Luar Kaluaran), yang berhak
membuat Angklung hanyalah warga Baduy Jero, itu pun tidak semua orang,
melainkan hanya mereka yang menjadi keturunan para pembuat Angklung. Sementara
itu, warga Baduy Luar tidak membuat Angklung, melainkan cukup membelinya dari
warga Baduy Jero. Nama-nama Angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
- - Angklung Dogdog Lojor
Kesenian
Dogdog Lojor terdapat di lingkungan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan,
yang mendiami sekitar Gunung Halimun, yang berbatasan dengan wilayah Jakarta,
Bogor, dan Lebak. Istilah Dogdog Lojor sendiri sejatinya diambil dari nama salah
satu instrumen dalam tradisi ini, yakni Dogdog Lojor. Namun demikian, Angklung
juga mendapatkan porsi yang tidak kalah penting di sini, terutama dalam fungsi
tradisinya, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Setelah masyarakat di
sana menganut Islam, dalam perkembangannya, kesenian tersebut juga digunakan
untuk mengiringi khitanan dan perkawinan. Dalam kesenian Dogdog Lojor, terdapat
2 intrumen Dogdog Lojor dan 4 instrumen angklung besar.
- - Angklung Badeng
Badeng
merupakan kesenian yang menggunakan Angklung sebagai instrument utamanya.
Kesenian Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Seiring
dengan perkembangan Islam, Kesenian Badeng juga digunakan untuk kepentingan
dakwah dan juga hiburan. Namun demikian, diyakini Angklung dalam kesenian
Badeng juga memiliki akar tradisi yang sama, yakni sebagai pengiring ritus
bercocok-tanam. Dalam kesenian Badeng, dimainkan 9 buah Angklung, yakni 2
angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2
angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Selain tiga tradisi kesenian Angklung di atas, banyak daerah lain di Jawa Barat yang juga mewarisi tradisi Angklung, sebut saja Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), dan Angklung Bungko (Indramayu).
Selain tiga tradisi kesenian Angklung di atas, banyak daerah lain di Jawa Barat yang juga mewarisi tradisi Angklung, sebut saja Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), dan Angklung Bungko (Indramayu).
- - Angklung Padaeng
Angklung
Padaeng adalah Angklung yang sekarang banyak dikenal luas, yakni Angklung hasil
inovasi Daeng Soetigna, yang menggunakan tangga nada diatonis. Sejalan dengan
teori musik, Angklung Padaeng secara khusus dikelompokan ke dalam dua, yakni:
angklung melodi dan angklung akompanimen. Angklung melodi adalah yang secara
spesifik terdiri dari dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit
angklung, umumnya terdapat 31 angklung melodi kecil dan 11 angklung melodi
besar. Sementara itu, angklung akompanimen adalah angklung yang digunakan
sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada harmoni. Tabung suaranya terdiri
dari 3 sampai 4, sesuai dengan akor diatonis. Setelah inovasi Daeng Soetigna,
pembaruan-pembaruan lainnya terhadap angklung terus berkembang. Beberapa di
antaranya adalah: Angklung Sarinande, Arumba, Angklung Toel, dan Angklung Sri
Murni.
TeknikBermainAngklung
Memainkan sebuah angklung pada dasarnya sangat mudah, yakni satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan yang lain menggoyangkannya hingga menghasilkan bunyi. Terdapat tiga teknik dasar menggoyangkan angklung, yakni:
Kurulung
(getar), merupakan teknik yang paling umum dipakai, di mana satu tangan
memegang rangka angklung, dan tangan lainnya menggoyangkan angklung selama nada
yang diinginkan, hingga tabung-tabung bambu yang ada silih beradu dan
menghasilkan bunyi.
Cetok
(sentak), yakni teknik di mana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke
telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
Tengkep,
yakni teknik yang mirip seperti kurulung, namun salah satu tabung ditahan tidak
ikut bergetar.
Sumber
:
Kesimpulan
Pendapat dan Saran:
Budaya
Indonesia sangat bermacam-macam salah satunya adalah alat Musik tradisionalnya
yang sangat kental di setiap daerah dan bahka menjadi icon sdi setiap daerah.
Kesimpulnya yang bisa kita ambil adalah Indonesia memiliki banyak sekali alat
musik tradisionalnya dari yang familiar maupun yang belom familiar dengan kita.
Ini menunjukan bagaimana Indonesia akan kaya dengan budaya termasuk alat
musiknya.
Dengan
begitu kita boleh bangga dengan Indonesia dengan akan kaya budayanya. Yang saya
masukan baru sebagian kecil dari alat musik tradisonal yang di punya Indonesia.
Masih banyak lagi yang di punya Indonesia. Pendapat saya adalah alat music
tradisional Indonesia sangat bagus dan menarik untuk di mainkan. Keunikan dalam
cara bermainnya menjadi daya tarik orang untuk memainkannya. Tetapi banyak anak
muda sekarang kurang tertarik untuk mempelajarinya yang memnyababkan kekawatiran
akan mundurnya alat music tardisional di Indonesia
Saran
saya adalah semoga alat musik tradisional lebih bisa di kembangkan lagi tidak
hanya yang sudah terkenal saja tetapi yang belum terkenal juga bisa di kembangkan. Bila perlu seluruh alat musik
tradisional Indonesia bisa kita perkenal di dunia internasional agar dunia tau
bahwa Indonesia kaya dengan Budaya nya termasuk alat tradisionalnya. Dan untuk
anak muda zaman sekarang jangan malu untuk mempelajari alat musik tradisional
karena kalau bukan kita yang mengembangkannya sebagai anak muda Indonesia, lalu
siapa lagi yang bisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar