Dampak
Sosial - Budaya Iklan Online
Iklan atau periklanan saat ini telah mejadi salah
satu konsumsi utama masyarakat terutama masyarakat perkotaan. Sejak bangun
tidur hingga bangun tidur hari berikutnya masyarakat kita senantiasa disuguhkan
dan atau bersertuhan dengan iklan serta pesan yang menyertainya. Iklan kini
telah menyatu dengan kehidupan masyarakat kita. Namun, pernakah disadari apa
saja dampak iklan (pesan iklan) terhadap kehidupan sosial budaya kita? Sejauh
mana tingkat apresiasi iklan pada masyarakat kita saat ini? Betulkah
ada
dugaan, bahwa masyarakat kita, umumnya golongan menengah kebawah gampang
terkecok oleh pesan iklan tertentu sehingga perlu pengaturan iklan untuk
menghindari dampak sosial yang terjadi? Mungkinkah lahir generasi konsumeristis
sebagai dampak pesan iklan? Secara histories-filosofis, adanya ‘iklan’
bermula dari adanya ‘tanda’ atau ‘simbol’.
'Simbol' atau 'tanda' ada sejak manusia ada (awal
kehidupan). Hanya saja antara ‘tanda’ dan ‘yang ditandakan’ memang berbeda dari
saman ke saman sejalan dengan perkembangan budaya, ilmu dan teknoligi suatu
masyarakat. Berbeda dengan 'simbol' atau 'tanda', iklan lebih bersifat
komersial. Iklan umunya didefinisikan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu
produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang
dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Buku Pedoman
Iklan Indonesia).
Adapun bentuk iklan bisa beragam mulai dari iklan di
media massa termasuk luar ruang & internet, advertorial, 'built-in', poster
dan selebaran serta iklan baris. Iklan merupakan persuasi yang
ditujukan kepada sekelompok masyarakat agar menjatuhkan pilihannya kepada
produk dengan merek tertentu. Karena itu, iklan sangat erat hubungannya dengan
pemasaran dan penjualan sebuah merek.
Dalam komunikasi pemasaran, iklan berperan sebagai
ujung tombak yang memiliki arti penting dalam meningkatkan dan mendorong
penjualan suatu produk atau merek tertentu. Pesan-pesan iklan ini disampaikan
melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Sejalan dengan kemajuan teknologi
komunikasi, jangkauan pesan iklan saat ini telah menyentuh hampir semua
strata sosial dan tingkatan umur manusia (anak-anak, remaja, dewasa dan
manula). *** Iklan sebenarnya juga menjadi cermin kehidupan
sosial-budaya suatu bangsa. Kemajuan industri periklanan juga merupakan
gambaran majunya tingkat sosial budaya masyarakat dimana iklan itu berada dan
diproduksi.
Meski demikian, kemajuan industri periklanan ini
harus memiliki sasaran dan pijakan yang sejalan dengan norma sosial-budaya yang
berlaku dalam masyarakat. Maksudnya, pesan-pesan iklan harus merujuk pada norma
budaya (kemasyarakatan) yang berlaku ataupun aspek disiplin dari masyarakat
dimana iklan itu dipulikasikan. Muncul pertanyaan, sudahkah pesan-pesan iklan
yang bertebaran di media cetak dan televisii sejalan dengan norma budaya
(etika) kita? Secara umum terdapat tiga macam pelanggaran etika
periklanan. Pertama, pelanggaran substansial (nyata): jika terjadi unsur-unsur
yang tidak jujur, tidak bertanggungjawab, dan atau tidak sesuai dengan
hukum yang berlaku baik sengaja ataupun tidak sengaja.
Kedua, pelanggaran profesional: jika pelanggaran itu
hanya terdeteksi oleh para praktisinya, namun luput dari perhatian khalayak
umum. Ketiga, pelanggaran situasional: jika terdapat keberatan dari masyarakat
meskipun sebenarnya iklan tersebut tidak melanggar etika yang telah disepakati.
Akar pelanggaran etika iklan pada dasarnya sama dengan akar
pelanggaran hukum positif, yaitu kesenjangan yang besar antara “das sollen”
dengan “das sein”.
Pelanggaran iklan juga sering terjadi karena iklan
tidak hanya dimanfaatkan dalam fungsi dasarnya yang berdampak informatif dan
persuasif, namun karena ditugaskan lebih untuk memberi nuansa manupulatif dan
koersif. *** Sadar atau tidak pesan-pesan iklan saat ini
menjejali masyarakat kita dengan begitu dasyatnya. Sesuai dengan segmentasi
pasar produk-produk yang dipasarkan, pesan-pesan iklan memang ditujukan hanya
kepada sebagian anggota masyarakat.
Iklan makanan anak-anak misalnya sesungguhnya ditujukan
hanya untuk anak-anak namun iklan ini juga dikonsumsi oleh orang dewasa.
Sebaliknya, iklan untuk orang dewasa sering juga dikonsumsi oleh anak-anak
meski dalam media elektronik (TV) telah diplot pada jam dan hari
tertentu. Akibatnya, sering terjadi perbedaan persepsi dari kelompok masyarakat
lainnya yang sebenarnya tidak ditujui oleh iklan tersebut.
Kesenjangan
persepsi iklan ini bukan hanya disebabkan subtansi pesan iklan, namun dapat
pula terjadi karena pola pikir masyarakat, tingkat pendidikan, tekanan ekonomi,
birokrasi dan pengawasan / sanksi, maupun kepentingan bisnis. Akibatnya,
pesan-pesan iklan ini dalam konteks sosial budaya dapat membawa implikasi yang
positif (konstruktif) tapi bisa juga negatif (destruktif).
Dampak positifnya antara lain, tingkat pengetahuan
masyarakat diperkaya dengan hadirnya beragam iklan dan pesan-pesannya, tentu
termasuk produk-produk baru yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Ini penting
artinya untuk memajukan peradaban manusia (dari tidak tahu menjadi tahu tentang
produk tertentu). Namun, pesan-pesan iklan ini dapat juga berdampak
negatif.
Secara sengaja atau tidak pesan-pesan iklan akan
menjadikan masyarakat bersifat konsumeristis terutama mereka yang secara
ekonomi diagap cukup mampu. Beberapa ibu rumah tangga bisa menjadi shopaholic
(gila belanja) lantaran ingin mencoba setiap produk yang diiklankan di TV atau
di media massa lainnya. Secara terminologi, budaya konsumeristis ini
diartikan sebagai 1) suatu kekuasaan kultural dalam masyarakat kapitalis moderen
yang berorientasi kepada pemasaran dan pemakaian barang-barang dan
jasa-jas pelayanan.
2) Suatu kultur yang membedakan status dan
membagi pangsa pasar dari masyarakat modern, ketika cita rasa individu
tidak hanya merefleksikan lokasi-lokasi sosial (umur, gender, pekerjaan, etnik,
dan sebagainya) tetapi juga merefleksikan nilai-nilai sosial dan gaya hidup
individu, para konsumen (Collin's Dictionary of Sociology, 1991).
Bagi
anak-anak budaya konsumeristis ini sangat merisaukan karena dampaknya bersifat
multidimensional. Selain kecenderungan anak-anak untuk menonton televisi secar
berlebihan, hal ini juga berdampak pada prestasi belajar mereka di sekolah.
Bukan tidak mungkin, anak akan menurun prestasinya lantaran lebih banyak
waktunya tersita untuk menonton televisi Dan, yang lebih memprihatinkan
adalah terbentuknya pola (budaya baru) konsumerisme dini dalam diri
anak-anak sebagai dampak dari tayangan iklan. Jika hal ini tidak segera
dicarikan jalan keluarnya maka akan terbentuk generasi baru (new generation)
yang konsumeristis.
Adanya iklan
di media massa memang tidak dapat dihindari. Namun, iklan-iklan yang
ditayangkan hendaknya tidak saja bersifat komersial (commercial mission),
tapi juga bersifat mendidik (education mission). Hal ini tidak mungkin terjadi
tanpa peran aktif dari insan media sendiri. Porsi iklan media hendaknya tidak
saja bersifat komersial tapi juga mendidik. Merekalah palang pintu paling
menentukan lahirnya generasi baru yang konsumeristis atau tidak.
Sumber : http://www.kompasiana.com/kaniskami/generasi-konsumeristis-dampak-sosial-budaya-pesan-iklan_5510c0dea333117c39ba8bf1
Sumber : http://www.kompasiana.com/kaniskami/generasi-konsumeristis-dampak-sosial-budaya-pesan-iklan_5510c0dea333117c39ba8bf1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar